Mengurai Benang Kusut Konflik Lahan dalam Pengembangan

konflik lahan pengembangan properti review

0 / 5. 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Juni 2, 2024
konflik lahan pengembangan properti

Isu konflik lahan dalam pengembangan properti seperti permasalahan lahan di shila at sawangan dan pembangunan infrastruktur di Indonesia menjadi sorotan utama. Artikel ini akan mengupas secara komprehensif mengenai kompleksitas permasalahan tersebut, dengan menganalisis berbagai contoh kasus untuk memetakan akar permasalahan, mulai dari tumpang tindih perizinan, data geospasial yang tidak akurat, hingga praktik mafia tanah yang terorganisir.

Selain itu, artikel ini juga akan menelusuri upaya pemerintah melalui Kebijakan Satu Peta serta pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Tanah sebagai solusi untuk mengurai benang kusut konflik lahan dan mencapai pembangunan yang berkelanjutan.

Kisah Tragis Kehilangan Lahan Warisan

Cerita Saad dan Ruslan, warga desa Rantau Kasih dan Ulak Teberau di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, menggambarkan tragedi kehilangan lahan warisan yang telah dikelola turun-temurun oleh masyarakat lokal. Kedatangan perusahaan sawit telah mengambil alih tanah-tanah produktif milik warga tanpa izin dan ganti rugi yang memadai, sehingga mengancam mata pencaharian dan kesejahteraan mereka.

Nasib Petani yang Kehilangan Lahan Produktif

Selain itu, masyarakat adat seperti Gajah Bertalut di Riau juga terancam kehilangan hak ulayat atas hutan dan sungai yang telah mereka kelola secara lestari sejak lama, akibat penetapan kawasan konservasi oleh pemerintah. Kisah-kisah ini mencerminkan betapa rapuhnya posisi masyarakat lokal dan adat dalam mempertahankan akses terhadap sumber daya lahan yang menjadi tumpuan hidup mereka.

Masyarakat Adat Terancam Kehilangan Hak Ulayat

Cerita Saad dan Ruslan, warga desa Rantau Kasih dan Ulak Teberau di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, menggambarkan tragedi kehilangan lahan warisan yang telah dikelola turun-temurun oleh masyarakat lokal. Kedatangan perusahaan sawit telah mengambil alih tanah-tanah produktif milik warga tanpa izin dan ganti rugi yang memadai, sehingga mengancam mata pencaharian dan kesejahteraan mereka.

Statistik Mengkhawatirkan Konflik Agraria di Indonesia

Berdasarkan data “Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Tahun 2018”, sepanjang 2018 terjadi 410 konflik agraria dengan luasan wilayah lebih dari 807 ribu hektare, yang melibatkan 87.568 kepala keluarga. Jumlah ini memang menurun dibandingkan tahun sebelumnya, namun konflik agraria terus terjadi dan sering berakhir dengan kekerasan.

Selain perluasan lahan dan penerbitan izin baru yang melanggar hak masyarakat, konflik agraria juga disebabkan oleh tumpang tindihnya hak warga atas tanah dengan perusahaan swasta maupun pemerintah, serta persoalan hutan adat dan hak ulayat masyarakat. Angka-angka ini menunjukkan betapa serius dan mengkhawatirkannya situasi konflik agraria yang terjadi di Indonesia.

TahunJumlah Konflik AgrariaLuasan Wilayah (Hektar)Jumlah Kepala Keluarga
2018410807.000+87.568
2017659520.491101.700

Konflik Lahan: Akibat Tumpang Tindih Perizinan

Salah satu penyebab utama konflik lahan adalah tumpang tindihnya hak atas tanah antara masyarakat, perusahaan swasta, dan pemerintah. Hal ini dipicu oleh data dan informasi geospasial yang sering tidak akurat, tidak lengkap, tidak mutakhir, atau belum jelas wali datanya. Situasi ini menyebabkan proses penetapan dan perubahan tata ruang oleh pemerintah berjalan lambat, sehingga terjadi tumpang tindih area perizinan dan menghasilkan ratusan konflik agraria.

Kesulitan Mendata Lahan Akibat Informasi Geospasial Tidak Akurat

Pemerintah mengakui kompleksitas tata kelola lahan di Indonesia, sehingga Kebijakan Satu Peta (KSP) diyakini dapat menjadi solusi untuk meningkatkan keakuratan data dan informasi geospasial sebagai dasar perencanaan tata ruang dan pemanfaatan lahan. Melalui KSP, pemerintah berupaya untuk mengintegrasikan berbagai peta tematik dari berbagai kementerian dan lembaga, sehingga dapat memetakan dengan lebih akurat tata guna lahan dan hak kepemilikan di seluruh wilayah Indonesia.

Kebijakan Satu Peta Sebagai Solusi

Pemerintah berharap Kebijakan Satu Peta (KSP) dapat menjadi dasar untuk seluruh perencanaan pembangunan di Indonesia, termasuk dalam menyelesaikan konflik tumpang tindih pemanfaatan ruang dan perizinan. Hingga saat ini, 83 dari 85 peta tematik skala 1:50.000 telah berhasil dikompilasi dari 19 Kementerian/Lembaga dan 34 Provinsi.

Peta Skala Lebih Rinci untuk Konflik di Tingkat Desa

Namun, menurut peneliti WRI Indonesia, skala peta 1:50.000 masih belum cukup rinci untuk menyelesaikan konflik lahan di tingkat desa, yang membutuhkan peta skala 1:10.000 hingga 1:1.000. Selain itu, KSP juga dinilai belum dapat menjawab seluruh persoalan konflik lahan mengingat peta-peta terkait sektor perkebunan rakyat, perhutanan sosial, dan potensi wilayah adat belum tersedia.

Tantangan Transparansi dan Partisipasi Publik

Tantangan lain adalah transparansi, di mana peta hasil KSP hanya bisa diakses oleh pemerintah dan belum melibatkan partisipasi publik secara luas.

Kebijakan Satu Peta

Komodifikasi Tanah dan Permainan Mafia

Pengembangan pariwisata besar-besaran di Labuan Bajo telah mendorong komodifikasi tanah yang semakin masif. Tanah-tanah yang sebelumnya milik warga setempat kini banyak beralih ke tangan para pemodal, sebagian besar dari luar daerah, bahkan ada warga asing. Hal ini membuat tanah-tanah milik warga semakin terkikis.

Modus Operandi Mafia Tanah

Iwan Nurdin, Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria, menjelaskan ada dua jenis mafia tanah: yang melakukan persertifikatan, jual beli palsu, hingga balik nama sertifikat tanah masyarakat, serta yang mampu melakukan perubahan tata ruang untuk kepentingan komersial.

Persekongkolan dengan Pejabat dan Pihak Berkuasa

Kasus tanah Kerangan di Manggarai Barat mengungkap peran pejabat BPN dan orang-orang yang memiliki jaringan kuat di Jakarta dalam memfasilitasi praktik mafia tanah tersebut.

konflik lahan pengembangan properti di Labuan Bajo

Labuan Bajo, yang ditetapkan sebagai destinasi wisata super-premium, telah menjadi sasaran pembangunan besar-besaran dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini mendorong komodifikasi tanah yang semakin masif, di mana tanah-tanah milik warga setempat banyak beralih ke tangan pemodal dari luar daerah.

Peran Pihak Luar dalam Sengkarut Tanah

Aktivis Venan Haryanto menyatakan peran “pihak luar” yang coba melakukan intervensi dengan kemampuan mereka untuk menguasai lahan di Labuan Bajo sangat besar. Hal ini diperkuat dengan keterlibatan beberapa pihak yang memiliki jaringan kuat di Jakarta, seperti pensiunan jenderal polisi Gories Mere dan wartawan senior Karni Ilyas, dalam upaya penguasaan tanah di wilayah tersebut.

Dampak Pengembangan Pariwisata Besar-Besaran

Pengembangan pariwisata berskala besar juga berdampak pada makin terkikisnya tanah-tanah milik masyarakat lokal di Labuan Bajo.

Satgas Pemberantasan Mafia Tanah: Harapan Baru

Untuk menangani maraknya konflik lahan yang terjadi, termasuk di Labuan Bajo, pemerintah telah membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Tanah yang diinisiasi oleh Badan Pertanahan Nasional dan Kepolisian RI. Kapolri Sigit Listyo Prabowo menyatakan bahwa Satgas ini akan membentuk jaringan hingga tingkat daerah untuk menyelesaikan konflik lahan dan bertindak tanpa diskriminasi.

Romo Marthen Jenarut, Ketua Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation Keuskupan Ruteng, mengapresiasi langkah ini dan berharap Satgas dapat mengungkap tuntas kejahatan Satgas Pemberantasan Mafia Tanah dan mengidentifikasi para pelakunya secara terbuka. Haji Ramang, perwakilan ahli waris tanah Kerangan, juga mengharapkan Satgas dapat membantu menyelesaikan persoalan tanah di Labuan Bajo dan menjamin keamanan serta kerukunan masyarakat.

Langkah pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Tanah ini diharapkan dapat menjadi harapan baru dalam penanganan konflik lahan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Labuan Bajo. Masyarakat berharap Satgas dapat bekerja secara transparan dan komprehensif untuk mengungkap dan memutus jaringan mafia tanah yang selama ini merugikan hak-hak masyarakat lokal.

Pentingnya Paradigma Pembangunan Berpihak pada Masyarakat

Peneliti Venan Haryanto menekankan bahwa perubahan paradigma pemerintah dalam pembangunan sangat diperlukan, agar tidak hanya berorientasi pada investasi dan kepentingan komersial, tetapi juga memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lokal. Paradigma pembangunan yang berpihak pada masyarakat menjadi kunci untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan.

Ia menyoroti bagaimana negara justru menjadi salah satu aktor kunci yang mempercepat proses pencaplokan sumber daya agraria, seperti pengambilalihan lahan-lahan masyarakat adat dan petani untuk dialokasikan kepada investor. Untuk itu, pemerintah dan parlemen daerah perlu memikirkan langkah-langkah antisipatif melalui regulasi yang melindungi tanah-tanah milik masyarakat adat dan lahan pertanian sebagai penyangga hidup masyarakat kecil.

Perubahan paradigma pembangunan yang berpihak pada masyarakat lokal menjadi kunci untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, bukan hanya berorientasi pada kepentingan komersial dan investasi semata.

FAQ

Apa yang menyebabkan kompleksitas konflik lahan dalam pengembangan properti dan pembangunan di Indonesia?

Beberapa penyebab utama konflik lahan adalah tumpang tindihnya hak atas tanah antara masyarakat, perusahaan swasta, dan pemerintah, data dan informasi geospasial yang tidak akurat, serta praktik mafia tanah yang terorganisir.

Bagaimana dampak konflik lahan terhadap masyarakat lokal?

Konflik lahan telah menyebabkan masyarakat lokal dan adat kehilangan akses terhadap lahan produktif dan sumber daya alam yang menjadi tumpuan hidup mereka, seperti yang terjadi pada warga desa Rantau Kasih dan Ulak Teberau di Sumatera Selatan serta masyarakat Gajah Bertalut di Riau.

Seberapa serius dan mengkhawatirkan situasi konflik agraria di Indonesia?

Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2018 terjadi 410 konflik agraria dengan luasan wilayah lebih dari 807 ribu hektare, yang melibatkan 87.568 kepala keluarga. Angka-angka ini menunjukkan betapa serius dan mengkhawatirkannya situasi konflik agraria di Indonesia.

Apa yang menyebabkan tumpang tindihnya hak atas tanah?

Tumpang tindihnya hak atas tanah disebabkan oleh data dan informasi geospasial yang sering tidak akurat, tidak lengkap, tidak mutakhir, atau belum jelas wali datanya. Hal ini menyebabkan proses penetapan dan perubahan tata ruang oleh pemerintah berjalan lambat, sehingga terjadi tumpang tindih area perizinan dan menghasilkan ratusan konflik agraria.

Bagaimana peran Kebijakan Satu Peta (KSP) dalam menyelesaikan konflik lahan?

Pemerintah berharap KSP dapat menjadi dasar untuk seluruh perencanaan pembangunan di Indonesia, termasuk dalam menyelesaikan konflik tumpang tindih pemanfaatan ruang dan perizinan. Namun, skala peta 1:50.000 masih dianggap belum cukup rinci untuk menyelesaikan konflik lahan di tingkat desa, yang membutuhkan peta skala 1:10.000 hingga 1:1.000. Selain itu, KSP juga dinilai belum dapat menjawab seluruh persoalan konflik lahan karena peta-peta terkait sektor perkebunan rakyat, perhutanan sosial, dan potensi wilayah adat belum tersedia.

Bagaimana modus operandi mafia tanah dalam menyebabkan konflik lahan?

Mafia tanah melakukan berbagai praktik, mulai dari persertifikatan, jual beli palsu, hingga balik nama sertifikat tanah masyarakat, serta melakukan perubahan tata ruang untuk kepentingan komersial. Mereka juga terlibat dalam persekongkolan dengan pejabat dan pihak-pihak yang memiliki jaringan kuat di Jakarta, seperti yang terjadi di kasus tanah Kerangan di Manggarai Barat.

Bagaimana dampak pengembangan pariwisata besar-besaran di Labuan Bajo terhadap konflik lahan?

Pengembangan pariwisata besar-besaran di Labuan Bajo telah mendorong komodifikasi tanah yang semakin masif, di mana tanah-tanah milik warga setempat banyak beralih ke tangan para pemodal dari luar daerah, bahkan ada warga asing. Hal ini membuat tanah-tanah milik warga semakin terkikis dan menimbulkan konflik lahan.

Apa harapan dengan dibentuknya Satgas Pemberantasan Mafia Tanah?

Satgas Pemberantasan Mafia Tanah yang diinisiasi oleh Badan Pertanahan Nasional dan Kepolisian RI diharapkan dapat mengungkap tuntas kejahatan mafia tanah, mengidentifikasi para pelakunya secara terbuka, dan membantu menyelesaikan persoalan konflik lahan, termasuk di Labuan Bajo.

Apa yang perlu dilakukan pemerintah untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan?

Perubahan paradigma pemerintah dalam pembangunan sangat diperlukan, agar tidak hanya berorientasi pada investasi dan kepentingan komersial, tetapi juga memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lokal. Pemerintah dan parlemen daerah perlu memikirkan langkah-langkah antisipatif melalui regulasi yang melindungi tanah-tanah milik masyarakat adat dan lahan pertanian sebagai penyangga hidup masyarakat kecil.

Beranda / Mengurai Benang Kusut Konflik Lahan dalam Pengembangan

Tentang Summer's Fresh

Summer’s Fresh adalah Agen Resmi Summer Spring Tangerang Selatan. Meski kami official agent Tangsel, kami juga melayani kota lain seperti Bogor, Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya hingga Denpasar, dan seluruh Indonesia

Metode Pembayaran

Kami menerima metode pembayaran Mandiri, BCA, BRI, dan hampir semua bank di Indonesia. Pembayaran lain termasuk OVO, GOPAY, hingga pembayaran melalui Indomaret.

Diskon

Dapatkan penawaran khusus dengan membeli 3 item dengan memasukkan kupon diskon3item atau pembelian 10 pcs dengan kupon joinreseller